PEMAHAMAN
FILSAFAT ILMU
TERHADAP
ETIKA DAN MORAL PERILAKU MANUSIA
Konteks perilaku manusia terhadap etika dan moral yang
kemudian dikaji melalui konsep filsafat ilmu memberikan suatu pemahaman bahwa
pemikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menentukan dan
mempertahankan kebenaran atau hal – hal yang baik yang dapat bermanfaat bagi
individuali maupun masyarakat lain namun sekaligus juga dapat dipergunakan
untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Perlu disadari
bahwa manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa memiliki sifat yang
baik dengan berlandasankan pada ketebalan prinsip agama maupun etika dan moral
Pancasila, namun dalam perjalanan hidupnya akan mengalami suatu proses pasang
surut sehingga manusia itu akan terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak
seseuai dengan perintah Tuhan. Dengan demikian manusia yang memiliki akhlak
yang baik dapat dikatakan masih memiliki moral dan etika yang baik juga.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna.
Manusia merupakan makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya
karena manusia dikaruniai oleh Allah SWT berupa akal, perasaan, dan kehendak
yang tidak dimiliki makhluk lainnya tersebut. Ciri utama mahluk manusia
bilamana dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lain yakni manusia memiliki
ciri sebagai mahluk berbudaya. Kebudayaan ini terwujud karena dalam rangka
interaksinya dengan semana manusia dan dengan alam lingkungan hidupnya. [1]Menurut
Abdulbkadir Muhmmad, akal adalah alat pikir sebagai sumber pengetahuan dan
teknologi. Dengan akal manusia dapat menilai mana yang benar dan yang salah
sebagai sumber kebenaran. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahaan
sebagai sumber seni, karena dengan perasaan manusia dapat menilai mana yang
indah (estetis) dan yang jelek sedangkan kehendak adalah alat untuk menyatakan
pilihan sebagai sumber dari kebaikan karena dengan kehendak manusia dapat
menilai mana yang baik dan yang buruk sebagai sumber nilai moral.[2]Untuk
menjadi lebih baik maka sesuatu hal harus sepenuhnya baik, sedikit noda saja
akan menyebabkan hal tersebut menjadi tidak baik. Ini berarti pula bahwa
perbuatan manusia hanya akan dikatakan baik bila tujuan akhirnya, motivasi dan
lingkungannya juga baik. Jika salah satu dari ketiga hal atau faktor penentu
tersebut tidak baik, keseluruhan perbuatan manusia menjadi tidak baik, sekalipun dua faktor lainnya baik.[3]Sebagai
makhluk budaya manusia perlu disadari bahwa yang benar, yang indah dan yang
baik itu menyenangkan, membahagiakan, menenteramkan dan memuaskan manusia.
Sebaliknya yang salah, yang jelek dan yang buruk itu menyengsarakan,
menyusahkan, menggelisahkan dan membosankan manusia. Dari dua sisi yang
bertolak belakang ini, manusia adalah sumber penentu yang menimbang, menilai,
memutuskan untuk memilih yang paling menguntungkan (nilai moral). [4]Dengan
demikian pada kenyataanya manusia lebih cenderung menghendaki nilai kebenaran, nilai kebaikan,
nilai keindahan dikarenakan sangat berguna bagi kehidupannya daripada
sebaliknya.
Dalam
memandang perbuatan dan mengatakan bahwa perbuatan itu baik atau buruk, adil
atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Seseorang bisa mengatakan bahwa apa
yang dijelaskan oleh temannya adalah cerita bohong saja. Disini seolah-olah
mengukur suatu perbuatan itu sesuai dengan norma atau prinsip moral. Jika
perbuatan itu sesuai dengan prinsip bersangkutan, kita menyebutkan baik, adil,
jujur dan sebagainnya, akan tetapi jika tidak sesuai kita menyebutkan buruk,
tidak adil, tidak jujur dan sebagainya. Disamping itu ada cara penilaian etis
lain lagi yang tidak begitu memandang perbuatan, melaikan justru keadaan pelaku
itu sendiri. Selain itu juga dapat menunjukan sifat watak atau akhlak yang
dimiliki orang itu atau justru dimilikinya sehingga kalau kita berbicara
tentang bobot moral (baik buruknya) orang itu sendiri dan bukan tentang bobot
moral salah satu perbuatannnya.
Berbicara
mengenai pendekatan moral yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari ini
dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang
berbeda yakni etika kewajiban dan etika keutamaan. Kalau tinjau dari segi
sejarah filsafat moral, maka etika keutamaan adalah tipe teori etika yang
tertua. Pada awal sejarah filsafat di Yunani Sokrates, Plato, dan Aristoteles
telah meletakan dasar bagi etika ini dan berabad-abad lamanya etika keutamaan
dikembangan terus. Etika kewajiban dalam bentuk murni baru tampil di zaman
modern dan agak cepat mengesampingkan etika keutamaan.[5] Dari kedua etika
dimaksud perlu disadari bahwa moralitas selalu berkaitan dengan prinsip serta
aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan
sifat-sifat wataknya.
A. ETIKA DAN MORAL DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tetang hak dan kewajiban moral ( ahklak). [6] Seperti
halnya dengan istilah yang bersangkutan dengan konteks ilmiah, istilah etika
pun berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
arti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
watak (ahklak), perasaan, cara berpikir sedangkan dalam bentuk jamak ta etha
artinya adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi
terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani Besar Aristoteles (384-322
SM) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Jadi jika membatasi diri
pada asal usul kata ini maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adar kebiasaan. [7]
Selain itu
juga pengertian etika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan nilai dan
moral yang menentukan perilaku seseorang/manusia dalam hidupnya. Etika
merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia baik
sebagai pribadi mapun sebagai kelompok. [8]
Dari
penjelasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti yakni :[9]
2.1 Ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2.2 Kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
2.3 Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut dari suatu golongan atau masyarakat.
Dari ketiga
arti tersebut dapat dirumuskan kembali atau dapat dipertajam lagi sebagai
berikut :
2.1 Kata etika
bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya;
2.2 Etika berarti
juga kumpulan asas atua nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik;
3.3 Etika baru
menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat, seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat
moral. [10]
Menurut
Surahwardi K Lubis dalam istilah Latin Ethoes atau Ethikos selalu disebut Mos
sehingg dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau yang sering
diistilahkan dengan perkataan moral. Dalam bahasa agama Islam, istilah etika
ini merupakan akhlak karena akhlak bukan sekadar menyangkut perilaku manusia yang
bersifat perbuatan yang lahiriah saja, akan tetapi mencakup hal-hal yang lebih
luas yaitu meliputi akidah, ibadah dan syariah. [11]
James J.
Spillane SJ mengungkapkan bahwaetika atau ethics memperhatikan tingkah laku
manusia dalam pengambilan keputusanmoral. Etika mengarahkan atau menghubungkan
penggunaan akal budi individu dengan obyektivitas untuk menentukan kebenaran
atau kesalahan dan tingkahlaku seseorang terhadap orang lain. [12] Sejalan
dengan pikiran Surahwardi diatas, Abdullah Salim mengatakan akhlak islami
cakupannya sangat luas yaitu menyangkut etos, etis, moral dan estetika. [13]
Berdasarkan
beberapa pemikiran yang berkaitan dengan etika diatas, Bartens sebagaimana
dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad memberikan tiga arti etika sebagai berikut :
[14]
2.1 Etika dipakai
dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral;
2.2 Etika dipakai
dalam arti kumpulan asas atau nilai moral;
2.3 Etika dipakai
dalam arti ilmu
Dalam
perkembangannya, etika dapat dibagi menjadi dua, etika perangai dan etika
moral. [15]Etika perangani adalah adat istiadat atau kebiasaan yang
menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di daerah tertentu,
pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena
disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku contohnya berbusana
adat, pergaulan muda-mudi, perkawinan semenda, dan upacara adat sedangkan etika
moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat
manusia, dan apabila etika ini dilanggar timbulkah kejahatan yaitu perbuatan
yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusianyang
disebut moral, contohnya berkata dan berbuat jujur, menghormati orang tua dan
guru, menghargai orang lain, membela kebenaran dan keadilan dan sebagainya.
Fungsi
etika menurut Darji Darmodihardjo, etika memberi petunjuk untuk tiga jenis
pertanyaan yang senantiasa diajukan. Pertama, apakah yang harus dilakukan dalam
situasi konkret yang tengah dihadapinya, Kedua bagaimana mengatur pola
konsistensi dengan orang lain, Ketiga akan menjadi manusia macam apa kita ini ?
dalam konteks ini, etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar
dalam mengelola kehidupan initidak sampai bersifat tragis. [16]
Menurut
Magnis Suseno bahwa ada 4 fungsi etika diantaranya : [17]
2.1 Etika dapat
membantu dalam menggali rasionalitas dari moral agama, seperti mengapa Tuhan
memerintahkan ini, bukan itu;
2.2 Etika
membantu dalam menginterprestasikan ajaran agama yang saling bertentangan;
2.3 Etika dapat
membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru dalam
kehidupan manusia, seperti soal bayi tabung dan eutanasia, yaitu tindakan
mengakhiri hidup dengan sengaja kehidupan mahkluk.
2.4 Etika dapat
membantu mengadakan dialog antar agama karena etika berdasarkan diri pada
argumentasi rasional belaka dan bukan pada wahyu.
Dalam
rangka menjernikan istilah etika dan etiket kerap kali kedua istilah ini dicampuradukan
begitu saja padahal diantaranya sangat hakiki dimana etika disini berarti moral
dan etiket berarti sopan santun. Disamping perbedaan, ada juga persamaan yakni,
etika dan etiket menyangkut perilaku manusia sehingga istilah ini hanya
menyangkut perilaku manusia secara normatif. Perbedaannya adalah etiket
menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia sedangkan etika tidak
terbatas pada cara dilakukan suatu perbuatan, etika memberikan norma tentang
perbuatan itu sendiri,etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh
boleh dilakukan atau tidak boleh.[18]
Etiket
berlaku hanya dalam pergaulan, bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada
saksi mata maka etika tidak berlaku sedangkan untuk Etika tidak tergantung pada
hadir tidaknya orang lain artinya tidak ada saksi mata. Etiket bersifat
relatif, yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan bisa saja dianggap
sopan dalam kebudayaan lain sedangkan etika sangat absolut. [19]
Pengertian
Moral memiliki arti (1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila. (2) kondisi mental
yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati
atau keadaan perasaan. [20]
Beranjak dari
pengertian moral diatas, pada prinsipnya moral merupakan alat penuntun, pedoman
sekaligus alat kontrol yang paling ampuh dalam mengarahkan kehidupan manusia.
Seseoran gang tidak memfungsikan dengan sempurna moral yang telah dalam diri
manusia yang tepatnya berada dalam hati, maka manusia tersebut akan menjadi
manusia yang akan selalu melakukan perbuatan atau tindakan-tindakan yang sesat,
dengan demikian manusia telah merendahkan martabatnya sendiri.
Sejalan
dengan pengertian moral sebagaimana tersebut di atas, Bartens sebagaimana
dikutip oleh Kadir Muhammad mengatakan bahwa kata yang sama dekat denan etika
adalah moral. Selanjutnya berbicara mengenai tingkah laku seseorang, maka ini
pula berkaitan dengan kesadaran yang harus dijalankan oleh seseorang dalam
memaknai dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Oleh karena itu kata kunci dari
moral terledak pada kesadasaran pengelolahan moral itu sendiri. Menurut
Drijakara menegaskan bahwa kesadaran moral [21]adalah kesadaran manusia tentang
diri sendiri, didalam mana sering dilihat dengan berhadap baik dan buruk. Dalam
hal ini manusia dapat membedakan antara halal dan yang haram, yang boleh dan
yang tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan.
Adapun
faktor penentu moralitas pada prinsipnya manusia diciptakan Tuhan yang Maha
Kuasa memiliki sifat yang baik, namun dalam perjalanan hidupnya akan mengalami
suatu proses pasang surut sehingga manusia itu akan terjerumus ke dalam
perbuatan yang tidak seseuai dengan perintah Tuhan. Dengan demikian manusia
yang memiliki akhlak yang baik dapat dikatakan masih memiliki moral yang baik.
Menurut
Liliana Tedjosaputro membagi moralitas ke dalam dua bagian yaitu moralitas
dapat bersifat intrinsik dan moralitas yang bersifat ekstrinsik [22]namun
disisi lain Immanuel Kant juga membedakan moralitas menjadi dua bagian yaitu
[23]; moralitas dibagi dalam dua bagian yaitu : moralitas hetronom dan
moralitas otonom.
Sementara
itu menurut Sumaryono mengemukakan tiga faktor penentu moralitas perbuatan
manusia yaitu :
2.1 Motivasi
2.2 Tujuan akhir
2.3 Lingkungan
perbuatan [24]
Dari uraian
penjelasan mengenai moralitas dapat disimpulkan bahwa moralitas pada dasarnya
sama dengan moral dimana moralitas suatu perbuatan artinya segi moral suatu
perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruk.
Selain
moral ada juga amoral dan immoral dimana menurut istilah inggris oleh Concise
Oxoford Dictionary kata amoral diterangkan sebagai unconcerned with,out of the
sphere of moral, non-moral, jadi kata Inggris amoral berarti tidak berhubungan
dengan konteks moral diluar suasana etis, non moral. Dalam kamus yang sama
immoral dijelaskan sebagai opposed to morality, morally evil. Jadi kata inggris
immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik secara moral buruk
tidak etis. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang baru tidak dimuat immoral akan
tetapi dijelaskan hanyak amoral yang artinya tidak bermoral, tidak berkhlak.
[25]
B. ETIKA DAN MORAL SEBAGAI CABANG FILSAFAT
Etika adalah
salah satu bagian dari cabang filsafat tetapi mengenai moral sehingga juga
filsafat moral. Sebagai filsafat moral. Etika menyelidiki perbuatan baik dan
buruk, benar dan salah berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan dalam
kehendaknnya. Sebagai obyek ilmu pengetahuan telaah etika adalah moral sehingga
yang dimaksud denganmoral adalah keseluruhan norma yang berbentuk perintah dan
larangan yang mengatur perilaku manusia dan bermasyarakat dimana manusia itu
berada. Sedangkan ciri moral adalah mengandalkan kesadaran manusia, manusia
dibentuk oleh moral. Dimensi lain yang ditelaah etika adalah kecenderungan
batin sebagau sumber perbuatan dan tujuan perbuatan dengan demikian dapat
diketahui keadaan moral perilakunya.
Sebagai
ilmu pengetahuan filsafat moral, etika menelaah tujuan hidup manusia yaitu,
kebahagian, kebahagian dimaksud adalah kebahagian sempurna yang memuaskan
manusia,baik jasmani maupun rohani dari dunia samapi ke akhirat melalui
kebenaran filosofis, kebahagiaan sempurna adalah tujuan akhir manusia.
Menurut
Theo Huijbers (1995) menjelaskan, filsafat adalah kegiatan intelektual yang
metodis dan sistimatis, secara refleksi menangkap makna hakiki keseluruhan yang
ada. Obyek filsafat bersifat universal, mencakup segala yang dialami manusia.
Berpikir secara filsafat adalah mencari arti yang sebenarnya segala hal yang
ada melalui pandangan cakrawala yang paling luas. Metode pemikiran filsafat
adalah refleksi atas pengalaman dan pengertian tentang suatu hal tentang
cakrawala yang universal. [26] Berbeda dengan Theo Huijbers dari segi obyeknya,
Sumaryono, (1995) menjelaskan bahwa filsafat adalah ilmu yang berfungsi sebagai
interpretasi tentang hidup manusia, tugasnya ialah meniliti dan menentukan
semua fakta konkret sampai pada yang paling mendasar.
Plato
(427-347 SM), filsuf Yunani yang termasyhur, murid Scorates dan guru
Aristoteles mengatakan bahwa filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan
tentang segala yang ada. Sementara itu menurut Aristoteles ( 384-322 SM) seorang
dari filsuf terbesar, murid Plato dan guru Raja Iskandar dari Macedonia
berpendapat bahwa filsafat itu menyelediki sebab dan asas segala benda. [27]
Selain itu
juga menurut Marcus Tullis Cicero (106-43 SM) politikus dan ahli pidato Romawi,
merumuskan filsafat itu adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan
usaha-usaha mencapati yang tersebut. [28]
Menurut
Immanuel Kant (1724-1804) yang disebut raksasa pikiran Barat, mengatakan bahwa
filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya empat persoalan, yaitu :
3.1 Apakah yang
dapat kita ketahui?
(Dijawab
oleh metafisika)
3.2. Apakah yang
boleh kita kerjakan?
(Dijawab
oleh etika)
3.3 Sampai
dimanakah pengharapan kita?
(Dijawab
oleh agama)
3.4 Apakah yang
dinamakan manusia?
(Dijawab
oleh Antropologi) [29]
Al-Farabi
yang merupakan Filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata bahwa filsafat
itu ialah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki
hakekatnya yang sebenarnya. [30]
Harold H.
Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan empat pengertian
tentang filsafat sebagai berikut :
3.1 Philosophy is
an attitude toword life and the universe (Filsafat adalah satu sikap tentang
hidup dan tentang alam semesta);
3.2 Philosophy is
a method of reflective thingking and reasoned inquiry (filsafat adalah satu
metode pemikiran refleksi dan penyelidikan akliah)
3.3. Philosophy is a group of problems ( filsafat
adalah satu perangkat masalah)
3.4 Philosophy is
a group of systems of thought (filsafat adalah satu perangkat teori atau sistem
pemikiran) [31]
Walaupun
tentu saja masih banyak sekali rumusan-rumusan lainnya dari para ahli lainnya namun dapat disimpulkan sebagai
berikut :
3.1 Filsafat
adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat
dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah tersebut itu diluar
atau diatas jangkauan pengetahuan biasa;
3.2 Filsafat
adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budi untuk memahami secara radikal
dan integral serta sistematik hakika sarwa yang ada yakni, hakikat Tuhan, alam
semesta dan manusia [32]
Ketika
membahas filsafat diketahui bahwa filsafat mencakup ilmu-ilmu khusus akan
tetapi perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus tersebut satu demi satu
memisahkan diri dari induk filsafat. Menurut H. De. Vos didalam E.N.S.I.E
mengajukan penggolongan filsafat sebagai berikut ; Metafisika, Logika, ajaran
tentang ilmu pengetahuan, filsafat alam, kebudayaan, filsafat sejarah dan
etika. [33]
Aliran-aliran etika dalam filsafat adalah sebagai berikut ; aliran etika
naturalisme, hedonisme, utilitarinisme, idealisme, vitalisme dan theologis[34]
Selain
aliran etika dalam filsafat juga dijelaskan sistem filsafat moral dimana
hakikat moral dan peranannya dalam hidup manusia. Menurut pandangan hedonisme
bahwa baik secara moral dengan kesenangan tidak saja merupakan pandangan pada
permulaan sejarah filsafat tetapi kemudia hari sering kembali dalam berbagai
variasi. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu mengakui dimensi sosial
sebagai faktor yang tidak bisa disingkirkan. Dalam dunia modern sekaran gini
rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain, hedonisme merupakan etika
emplisit yang mungkin tanpa disadari dianut oleh individu dewasa ini.
Eudemonisme merupakan pandangan dari filsuf Yunani besar, Aristoteles. Dalam
bukunya Ethika Nikomakheia menegaskan bahwa setiap kegiatan manusia mengejar
suatu tujuan. Bisa dikatakan juga dalam setiap perbuatan ingin mencapai sesuatu
yang baik bagi manusia, sering manusia mencari suatu tujuan untuk mencapai
tujuan lain lagi. Menurut Aristoteles menegaskan bahwa setiap orang mencapai
tujuan terakhir dengan menjalankan fungsi yang baik. Bagi Aristotels ada dua
macam keutamaan : yang pertama membicarakan keutamaan intelektual dan kedua
adalah keutamaan moral. [35]
Aliran
Utilitarisme membagi menjadi dua bagian diantaranya utilitarisme klasik dan
Utilitarisme aturan. Utilitarisme dimaksud sebagai dasar etis untuk
memperbahuri khususnya hukum pidana, jadi tidak ingin menciptakan suatu teori
moral yang abstrak. Tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara
dan bukan melaksanakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut
hak-hak kodrat. Sedangkan Utilitarisme aturan adalah merupakan sebuah varian
yang menarik dari utilitarisme, menurut Richard B. Brandt melangkah lebih
jauhlagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan
sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan, sehingga
perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi
dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat. [36]
Dari
penjelasan tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa aliran hedonisme adalah
kodrat manusia itu selalu mencari kenikmatan atau kebahagian hidup. Perbuatan
manusia dikatakan baik apabila perbuatan itu menghasilkan kenikmatan atau
kebahagiaan bagi diri sendiri atau orang lain (universal), Aliran Utilitarisme
berpendapat bahwa perbuatan baik apabila bermanfaat bagi manusia dan dikatakan
buruk apabila menimbulkan mudharat/kerugian bagi manusia. Paham ini mengatakan
bahwa orang baik adalah orang membawa manfaat, maksudnya supaya berusaha
berbuat baik. Aliran Naturalisme berpendapat bahwa perbuatan manusia itu
dikatakan baik apabila bersifat alami, tidak merusak alam. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi perusak alam yang utama, sumber kesusahan
orang banyak dan ini adalah buruk.
Sedangkan
Aliran Vitalisme berpendapat bahwa perbuatan manusia mengacu kepada kehidupan
sebagai kebaikan tertinggi. Perbuatan baik adalah perbuatan yang menambah daya
hidup sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang mengurangi bahkan
merusakan daya hidup. Usaha setiap manusia seharusnya bertujuan agar dapat
hidup dan berkehendak untuk hidup serta melenyapkan hal-hal yang merintangi
kemajuan dan perkembangan kehidupan. Manusia juga wajib menghormati serta
meningkatkan daya hidup dimanapun terhdap makhluk lain da sekuat mungkin
melawan maut.
Untuk dapat
menentukan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan moral, manusia melalui
penilaian dengan menggunakan norma moral, moral adalah patokan atau ukuran
manusiawi untuk mempertimbangkan perbuatan benar atau salah, baik atau buruk,
bermanfaat atau merugikan. Moralitas perbuatan ditentukan oleh motivasi, tujuan
akhir dan lingkungan perbuatan itu sendiri.
KESIMPULAN
Etika
adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan nilai dan moral yang menentukan
perilaku seseorang/manusia dalam hidupnya. Etika merupakan sebuah refleksi
kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud
dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia baik sebagai pribadi mapun
sebagai kelompok.
Sebagai
makhluk budaya manusia perlu disadari bahwa yang benar, yang indah dan yang
baik itu menyenangkan, membahagiakan, menenteramkan dan memuaskan manusia.
Sebaliknya yang salah, yang jelek dan yang buruk itu menyengsarakan,
menyusahkan, menggelisahkan dan membosankan manusia. Dari dua sisi yang
bertolak belakang ini, manusia adalah sumber penentu yang menimbang, menilai,
memutuskan untuk memilih yang paling menguntungkan (nilai moral). Dengan
demikian pada kenyataanya manusia lebih cenderung menghendaki nilai kebenaran, nilai kebaikan,
nilai keindahan dikarenakan sangat berguna bagi kehidupannya daripada
sebaliknya.
Untuk dapat
menentukan bahwa perbuatan itu adalah merupakan perbuatan moral yang dilakukan
oleh manusia memerlukan penilaian dengan menggunakan norma moral, yakni norma
karena norma adalah patokan atau ukuran manusiawi untuk mempertimbangkan
perbuatan benar atau salah, baik atau buruk, bermanfaat atau merugikan.
Moralitas perbuatan ditentukan oleh motivasi, tujuan akhir dan lingkungan
perbuatan itu sendiri.
Perbuatan
manusia seutuhnya adalah perbuatan yang dilandasi oleh akal yang menyatakan
benar atau salah, rasa yang menyatakan baik atau buruk dan karsa menyatakan
pilihan berdasarkan kehendak bebas. Kehendak bebas adalah kesadaran dan
kesadaran adalah suara hati nurani. Hati nurani selalu menyuarakan baik, benar
dan bermanfaat oleh karena itu, perbuatan yang memenuhi ketiga unsur ini
disebut perbuatan moral yaitu perbuatan yang bersumber pada hari nurani yang
selalu baik, benar dan bermafaat. Perbuatan moral mempunyai nilai moral yaitu nilai manusia seutuhnya.
Perbuatan moral menuntun manusia menuju pada kebahagian, ketertiban, kestabilan
dan kemajuan.
Kebalikan
dari perbuatan moral adalah perbuatan amoral yaitu perbuatan tidak baik, tidak
benar, tidak bermanfaat karena tidak memenuhi ketiga unsur manusia seutuhnya,
tidak menyuarakan hati nurani. Perbuatan amoral adalah perbuatan jahat yang
tidak mempunyai nilai moral, karena perbuatan itu jahat, maka pelakunya disebut
penjahat. Penjahat adalah musuh masyarakat orang baik-baik sehingga perbuatan
amoral menggiring manusia menuju kesengsaraan, kekacauan, kerusakan dan
kehancuran.
Manusia
seutuhnya disebut juga manusiawi dimana perbuatan manusia seutuhnya disebut
perbuatan manusiawi yang mempunyai nilai manusiawi sebaliknya perbuatan yang
tidak memenuhi unsur-unsur kodrat manusia tidak baik, tidak benar, tidak
bermanfaat, tidak menyuarakan hati nurani disebut perbuatan tidak manusiawi dan
tidak mempunyai nilai manusiawi.
DAFTAR ISI
[1]. Tim
Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat Ilmu Universitas Gajahmada, Filsafat
Ilmu, Liberty Yogyakarta, Januari 2010, hlm 178
[2].
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 1
[3].
Menurut Skolastik berbunyi sebagai berikut : Bonum Ex Integra Causa,
Malum Ex Quocumque defectu artinya Untuk menjadi lebih baik maka sesuatu hal
harus sepenuhnya baik, sedikit noda saja akan menyebabkan hal tersebut menjadi
tidak baik , yang dikutip E. Sumaryono,
Etika Profesi Hukum, Norma-Norma dalam Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta,
1995, hlm 19
[4].
Opcit. hlm 2
[5].
Konsep ini dikemukakan oleh K. Bertens, Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15
dijelaskan bahwa dalam penilaian etis pada taraf populer dapat dibedakan dalam
2 macam pendekatan yakni, mengukur perbuatan dengan norma atau prinsip moral
dan karakteristik sifat watak atau akhlak yang dimiliki orang tersebut atau justru
tidak dimilikinya, Tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe
teori etika yang berbeda, : Etika Kewajiban mempelajari prinsip-prinsip dan
aturan-aturan moral yang berlaku untuk perbuatan manusia selanjutnya etika ini
menunjukan norma dan prinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral
manusia sedangkan Etika Keutamaan mempunyai orientasi yang lain, dimana etika
ini menyoroti perbautan satu demi satu apakah sesuai atau tidak dengan norma
moral akan tetapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri sehingga etika ini
mempelajari keutamaan (virtue) artinya sifat watak yang dimiliki manusia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 211.
[6]. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudyaan,
Jakarta, 1991, hlm. 271. Bandingkan dengan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tetang
asas-asas moral (akhak).
[7].
Opcit. hlm 4
[8].
http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/04/socrates-filsafat-etika-dan-moral.html,
tanggal 27 April 2010, Jam 16.00 Wib
[9].
Opcit. hlm 6
[10]. Ibid
[11].
Surahwardi K. Lubis, dalam Supriadi, Etika dan Tanggungjawab Profesi
Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 7-8
[12]. James
J. Spillane SJ, dalam Surahwardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994, hlm 1
[13].
Abdullah Salim, dalam Suhrawardi K. Lubis, dijelaskan bahwa akhlak
cakupannya sangat luas yaitu
a. Etos yang mengatur hubungan seseorang
dengan khaliknya, al-ma’bud bi haq serta kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah seperti
terhadap rasul-rasul Allah, Kitabnya dan sebagainya.
b. Etis, yang mengatur sikap seseorang
terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari.
c. Moral, yang mengatur hubungan dengan
sesamanya tetapi berlainan jenis dan atau yang mengatur kehormatan tiap pribadi
d. Estetika, rasa keindahan yang mendorong
seseorang untuk meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya agar lebih
indah dan menuju kesempurnaan.
[14].
Bartens, dalam Supriyadi, dijelaskan bahwa pemikiran etika dapat
memberikan tiga arti etika sebagai berikut :
a. Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini
dapat juga disebut sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup
bermasyarakat, misalanya etika orang Jawa, Sunda dan sebagainya;
b. Etika dipakai dalam arti kumpulan asas
atau nilai moral yang dimaksud disini adalah kode etik misalanya kode etik
kedokteran, Advokat dan lain-lain;
c. Etika dipakai dalam arti ilmu tentang baik
dan yang buruk artinya etika disini sama dengan filsafat moral.
[15]. Opcit,
hlm 9
[16]. Darji
Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta 1995, Cetakan I, hlm 237.
[17]. Magnis
Suseno dalam C.S.T. Kansil dan Christine T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, hlm 2
[18]. K. Bertens, Etika, Opcit, hlm 9
[19]. Ibid
[20]. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Opcit, hlm. 665
[21].
Drijakarta, dalam Supriyadi, Opcit hlm. 13
[22].
Liliana Tedjosaputro, etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka ilmu,
semarang, 2003 hlm. 7, menjelaskan moralitas ke dalam dua bagian yakni;
a. Moralitas dapat bersifat intrinsik,berasal
dari diri manusia itu sendiri sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk
terlepas atau tidak dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada. Moralitas
intrinsik ini esensianya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri.
b. Moralitas yang bersifat ekstrinsik
penilaiannya didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat
perintah atau larangan, moralitas ini merupakan realitas bahwa manusia itu
terkait pada nilai-nilai atau norma-norma yang diberlakukan dalam kehidupan
bersama.
[23].
Immanuel Kant, diterjemahkan Lili Tjahyadi dalam Supriyadi, Opcit,
hlm13-14 dijelaskan bahwa moralitas dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
a. Moraltias hetronom merupakan sikap dimana
kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri,
melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri;
b. Moralitas otonom merupakan kesadaran
manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai suatu yang dikehendaknya karena
diyakini sebagai hal yang baik. Didalam moralitas otonom orang mengikuti dan
menerima hokum lantaran mau mencapat tujuan yang diinginkan ataupun lantaran
takut pada penguasa, melainkan karena itu dijadikan kewajiban sendiri berkat
nilainya yang baik.
[24].
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma bagi Penegak Hukum,
Kanisius, Yogyakarta dalam Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm 18-19, dijelaskan
bahwa Motivasi adalah hal yang diinginkan oleh pelaku perbuatan dengan maksud
untuk mencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi motivasi itu dikehendaki secara
sadar sehingga menentukan kadar moralitas perbuatan, sedangkan untuk tujuan
akhir adalah diwujudkannya perbuatan yang dikehendaki secara bebas. Moralitas
perbuatannya ada dalam kehendak perbuatan itu menjadi obyek perhatian kehendak
artinyanya memang dikehendaki oleh pelakunya. Selain itu juga unsur lingkungan
perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi atau
mewarnai perbuatan. Termasuk dalam perngertian lingkungan perbuatan adalah ;
manusia yang terlibat, kualitas dan kuantintas perbuatan, cara, waktu dan
tempat dilakukannya perbuatan dan fekuensi perbuatan.
[25]. K.
Bertens, Etika, Opcit, hlm 7-8
[26].
Abdulkadir Muhammad, Opcit, hlm 27
[27]. Takdir
Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat;Metafisika, Jakarta, 1957, hlm. 16
[28]. H.
Aboebakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, Semarang, 1970, hlm. 10
[29]. Abdul
Hanifah, Rintisan Filsafat, 1950, hlm 16
[30]
Al-farabi, dalam H. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,
Bina Ilmu, 1987, hlm 83.
[31]. Ibid,
hlm 84
[32]. Ibid,
hlm 85
[33]. Ibid,
hlm 93
[34].
Hasubullah Bakry, dalam H. Endang Saifuddin Anshari, ibid hlm 96
dijelaskan bahwa :
a. Aliran etika naturalisme ialah aliran yang
berangapan bahwa kebahagian manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan
natura (fitrah) kejadian manusia sendiri.
b. Aliran etika hedonisme ialah aliran yang
berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone
(kenikmatan dan kelesatan)
c. Aliran etika idealisme ialah aliran yang
berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab musabab
lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih
tinggi
d. Aliran etika vitalisme ialah aliran yang
menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidaknya daya
hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
e. Aliran etika theologis ialah aliran yang
berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai
dengan sesuai dan tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos – Tuhan).
[35]. K.
Bertens, Etika, Opcit, hlm 242-243 dijelaskan bahwa Keutamaan intelektual menyempurnakan
langsung rasio itu sendiri sedangkan keutamaan moral rasio menjalankan pilihan
– pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari.
[36]. Ibid,
hlm 246-253
Sumber: http://hermankatimin2.blogspot.co.id/
0 komentar:
Posting Komentar